Senin, 25 Mei 2015

KESAN SEMINGGU JADI WONG NGABLAK

Pernahkah kalian mereka-reka, apakah ada tempat yang lebih indah dibanding Jakarta?. Adakah tempat yang lebih tenang?. Adakah tempat yang lebih ramah dan bebas tekanan dibanding wilayah pusat yang padat ini?; Atau apakah kalian terlalu disibukan dengan kehidupan Ibu Kota dan tidak sempat mengintip
desa-desa kecil yang tersebar di negri ini?. Mungkin jawabannya adalah ya, sama seperti saya. Hidup di Jakarta sejak lahir membuat saya tidak pernah tahu tentang kehidupan desa yang sederhana. Tentang mereka yang selalu bertegur sapa di jalanan setapak menuju ladang. Tentang kehangatan warga kaki Gunung Merbabu. Namanya adalah Ngablak. Sebuah dusun yang terletak di Desa Sowanan Kota Magelang Jawa Tengah ini adalah tempat kami menghabiskan waktu dalam kegiatan Live In. Bagi yang belum tahu, Live In adalah kegiatan menetap di pemukiman warga suatu tempat selama beberapa hari dan diiringi dengan mengikuti aktivitas warga setempat. Biasanya tempat yang dipilih untuk Live Inadalah desa atau tempat terpencil dengan budaya yang sederhana dan tradisional. Kegiatan ini merupakan kegiatan rutin

tahunan bagi angkatan kelas 11 sekolah kami dan tahun ini adalah giliran kami.
Mayoritas warga Ngablak memiliki mata pencaharian sebagai petani, begitu juga dengan Pak Mugi, orang tua asuh saya. Pak Mugi memiliki ladang kubis, wortel dan tembakau yang masing-masing luasnya ±100m2 dan beliau cangkul sendiri. Hebat bukan? Sementara Ibu bertugas dalam merawat dan membersihkan ladang. Memiliki ayah asuh seorang petani tentu saja membuat saya sempat menapak di atas basahnya tanah ladang dan berkenalan langsung dengan serangga-serangga unik yang selama ini saya kira hanya ada di buku sains.
“Nda kenal sama yang tadi dek?”
Tanya Ibu pada saat kami berjalan menuju ladang dan berpapasan dengan dua orang teman dari kelas sebelah yang sejujurnya....kurang dekat dengan kami—saya dan teman serumah yang bernama Helga—di sekolah. Kami hanya bisa tersenyum canggung sambil mengangguk. Itulah orang kota, nggak deket nggak nyapa. Kalau menyapa akan terkesan aneh atau dibilang sok dekat. Bukan begitu? Berbeda dengan orang desa yang selalu menyapa satu sama lain dengan senyuman hangat mereka, berbincang dengan aksen Jawa mereka yang kental dan menganggukan kepala saat hendak berlalu.
Fransisca bersama sahabat
           Rintikan hujan turun saat kami bertiga tengah asyik mencabuti rumput liar yang tumbuh di balik dedaunan kubis. Ibupun menyuruh kami untuk pulang duluan. Namun kami memutuskan untuk berteduh sebentar karna hujan yang semakin kencang. Disanalah kami berteduh, di sebuah gubuk kecil tempat penyimpanan pupuk kotoran ayam milik sepasang suami istri petani. Mereka menerima kami dengan sangat, bahkan mereka sempat menawari kami bekal makan siang yang mereka bawa dari rumah. Kami berbincang banyak dengan Bapak dan Ibu itu. Saya turut menceritakan pengalaman saya sebelum ke ladang saat saya pergi ke warung untuk membeli air mineral. Saya terkesan dengan rasa saling percaya yang dimilikiwarga sekitar. Warung tersebut terletak di pinggir jalan, namun menurut pengakuan si pemilik yang saya tanyai, ia tidak pernah mengalami kehilangan barang sekalipun warung tersebut sering ia tinggal. Bapak dan Ibu pemilik gubuk hanya tertawa saat mendengar cerita saya. Mereka berkata hal itu adalah hal yang biasa. Bahkan saat berpergian jauh, hanya dengan menitipkan rumah kepada tetangga sebelah, rumah akan aman sampai saat kepulangan sang pemilik. Begitu juga dengan setiap ladang yang mereka miliki, apabila ada yang kehabisan bahan makanan maka ladang tetangga tersedia untuk tetap membuat asap dapur mengepul. Mereka hanya perlu mengambil apa yang mereka perlu, layaknya mereka mengambil makanan di ladang sendiri.
Saya benar-benar terkesan. Bagaimana tidak? Yang selama ini saya lihat adalah keegoisan orang-orang kota yang kurang berbagi, kasus kriminalitas yang tidak pernah berhenti serta pagar-pagar besi yang melambangkan keamanan dan rasa saling percaya yang orang kota tidak miliki. Bergaul dengan mereka membuat saya sadar bahwa ternyata masih ada orang baik. Saya juga sadar bahwa seharusnya kita belajar dari mereka, wong ndeso yang selama ini kita pandang sebelah mata. Harusnya kita yang merasa malu, penghuni kota namanya tapi moral telah hilang entah kemana.
Lewat artikel ini, yang saya ingin sampaikan adalah: Marilah kita belajar untuk lebih berbagi dan peduli. Tidak ada yang salah dengan tetap berbuat baik walaupun tekanan dan rintangan kehidupan kota mengancam kita untuk menyimpang. Terimakasih Ngablak, saya sudah belajar banyak.


0 komentar:

Posting Komentar