Pernahkah kalian mereka-reka, apakah ada
tempat yang lebih indah dibanding Jakarta?. Adakah tempat yang lebih tenang?.
Adakah tempat yang lebih ramah dan bebas tekanan dibanding wilayah pusat yang
padat ini?; Atau apakah kalian terlalu disibukan dengan kehidupan Ibu Kota dan
tidak sempat mengintip
desa-desa kecil yang tersebar di negri ini?. Mungkin jawabannya adalah ya, sama seperti saya. Hidup di Jakarta sejak lahir membuat saya tidak pernah tahu tentang kehidupan desa yang sederhana. Tentang mereka yang selalu bertegur sapa di jalanan setapak menuju ladang. Tentang kehangatan warga kaki Gunung Merbabu. Namanya adalah Ngablak. Sebuah dusun yang terletak di Desa Sowanan Kota Magelang Jawa Tengah ini adalah tempat kami menghabiskan waktu dalam kegiatan Live In. Bagi yang belum tahu, Live In adalah kegiatan menetap di pemukiman warga suatu tempat selama beberapa hari dan diiringi dengan mengikuti aktivitas warga setempat. Biasanya tempat yang dipilih untuk Live Inadalah desa atau tempat terpencil dengan budaya yang sederhana dan tradisional. Kegiatan ini merupakan kegiatan rutin
desa-desa kecil yang tersebar di negri ini?. Mungkin jawabannya adalah ya, sama seperti saya. Hidup di Jakarta sejak lahir membuat saya tidak pernah tahu tentang kehidupan desa yang sederhana. Tentang mereka yang selalu bertegur sapa di jalanan setapak menuju ladang. Tentang kehangatan warga kaki Gunung Merbabu. Namanya adalah Ngablak. Sebuah dusun yang terletak di Desa Sowanan Kota Magelang Jawa Tengah ini adalah tempat kami menghabiskan waktu dalam kegiatan Live In. Bagi yang belum tahu, Live In adalah kegiatan menetap di pemukiman warga suatu tempat selama beberapa hari dan diiringi dengan mengikuti aktivitas warga setempat. Biasanya tempat yang dipilih untuk Live Inadalah desa atau tempat terpencil dengan budaya yang sederhana dan tradisional. Kegiatan ini merupakan kegiatan rutin
tahunan bagi angkatan kelas 11 sekolah kami dan tahun ini adalah giliran
kami.
Mayoritas warga Ngablak memiliki mata
pencaharian sebagai petani, begitu juga dengan Pak Mugi, orang tua asuh saya.
Pak Mugi memiliki ladang kubis, wortel dan tembakau yang masing-masing luasnya ±100m2
dan beliau cangkul sendiri. Hebat bukan? Sementara Ibu bertugas dalam
merawat dan membersihkan ladang. Memiliki ayah asuh seorang petani tentu saja
membuat saya sempat menapak di atas basahnya tanah ladang dan berkenalan
langsung dengan serangga-serangga unik yang selama ini saya kira hanya ada di
buku sains.
“Nda kenal sama yang tadi dek?”
Tanya Ibu pada saat kami berjalan menuju
ladang dan berpapasan dengan dua orang teman dari kelas sebelah yang
sejujurnya....kurang dekat dengan kami—saya dan teman serumah yang bernama
Helga—di sekolah. Kami hanya bisa tersenyum canggung sambil mengangguk. Itulah
orang kota, nggak deket nggak nyapa. Kalau
menyapa akan terkesan aneh atau dibilang sok dekat. Bukan begitu? Berbeda
dengan orang desa yang selalu menyapa satu sama lain dengan senyuman hangat
mereka, berbincang dengan aksen Jawa mereka yang kental dan menganggukan kepala
saat hendak berlalu.
Fransisca bersama sahabat |
Saya benar-benar terkesan. Bagaimana
tidak? Yang selama ini saya lihat adalah keegoisan orang-orang kota yang kurang
berbagi, kasus kriminalitas yang tidak pernah berhenti serta pagar-pagar besi
yang melambangkan keamanan dan rasa saling percaya yang orang kota tidak
miliki. Bergaul dengan mereka membuat saya sadar bahwa ternyata masih ada orang baik. Saya juga sadar bahwa seharusnya kita
belajar dari mereka, wong ndeso yang
selama ini kita pandang sebelah mata. Harusnya kita yang merasa malu, penghuni
kota namanya tapi moral telah hilang entah kemana.
Lewat artikel ini, yang saya ingin
sampaikan adalah: Marilah kita belajar untuk lebih berbagi dan peduli. Tidak
ada yang salah dengan tetap berbuat baik walaupun tekanan dan rintangan
kehidupan kota mengancam kita untuk menyimpang. Terimakasih Ngablak, saya sudah belajar banyak.