Kamis, 05 Februari 2015

HIDUP BUKAN CUMA BERSENANG-SENANG

Martinus Ruma, guru bahasa Indonesia SMA & SMK Kanaan Jakarta
ketika berbicara yang masih menunjukkan aksen kedaerahannya menjadi salah satu ciri khas dari pria ini. Pria kelahiran 7 September 1984 ini berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT) namun lahir dan besar di Jayapura Papua. Guru yang akrab disapa Martin ini menjadi guru Bahasa Indonesia di SMA Kristen Kanaan Jakarta Pusat. Beliau saat ini sudah berkeluarga. Perjalanan hidupnya saat sebelum menjadi guru yang penuh liku-liku membuat pria ini tidak pantang menyerah dan memiliki tekad yang kuat dalam dirinya. Terkadang di depan kelas sangatlah galak namun tidak jarang humor-humor khas ala papua coba beliau hadirkan untuk menyegarkan semangat anak didiknya. Prinsipnya sangatlah simpel “3 O” (olah hati, olah otak dan olah raga). Demikainlah cara guru ini menerapkan disiplin di dalam kelas. Harapan terbesarnya adalah menghasilkan peserta didik yang hatinya baik dan otaknya cerdeas; juga raga yang sehat.
         Pria ini dulunya pernah bergabung dalam klub sepak bola Persipura junior. Tetapi beliau meninggalkan itu semua karena beliau beranggapan bahwa hidup ini bukan cuma untuk bersenang-senang melainkan harus memikirkan orang-orang terdekat yang kita kasihi dan melakukan kebaikan untuk tabungan di Surga. “Bermain sepak bola memang kesukaan saya dan cita-cita saya sejak kecil ingin menjadi pemain bola profesional, tapi buat apa kalau kita sukses menjadi orang kaya melalui sepak bola namun tidak memiliki tabungan untuk di akhirat kelak” katanya.
            Menjadi seorang jurnalis dan guru ialah pilihan hidupnya. Kemampuannya dalam menulis tidak perlu diragukan karena sudah ada beberapa dari tulisannya pernah menjadi juara. Diantaranya juara 1 penulisan berita investigasi tentang PSK di Tanjung Elmo Jayapura Papua yang diadakan oleh AJI (Aliansi Jurnalis Independen) propinsi Papua dan juara 3 penulisan soff news yang berjudul “CITA_CITAKU MENJADI SEORANG PELACUR” oleh Persatuan wartawan kota Jayapura (PWI). Beliau mengakui bahwa menjadi penulis itu mengasyikan dan kita tidak mudah melupakan kejadian yang pernah terjadi di sekitar kita dengan menuliskan kejadian itu. Pria yang satu ini sudah pernah bertatapan dan berfoto langsung dengan almahrum mantan presiden terdahulu kita Gusdur.
Indahnya menjadi seorang jurnalis, tidak pernah kekal adanya, ada suka ada juga duka. Salah satu kehidupan pahit saat menjadi seorang jurnalis ketika beliau hampir bertaruhan nyawa karena membuka kejahatan seseorang. Namun, semua itu baginya menjadi cerita tempo dulu yang hanya bisa dijadikan pelajaran untuk menjadi lebih baik lagi ke depannya.
Ketika beliau masih muda dan belum menikah beliau beranggapan bahwa itu adalah tantangan untuk terus maju.  Namun saat sudah menikah beliau mengubah pandangan hidupnya bahwa hidup ini harus memikirkan orang- orang  yang kita kasihi juga.Salah satu motivasi yang membuat pria ini ingin menjadi jurnalis selain suka menulis beliau juga ingin menuliskan aspirasi dan harapan masyarakat Papua yang kurang begitu diperhatikan oleh pemerintah pusat, padahal di sana banyak yang lebih membutuhkan bantuan lebih dari pada di daerah lain.
            Memang benar kata pepatah, sejauh-jauhnya tupai terbang tentu akan kembali ke sarangnya. Sekian lama malang buana di dunia jurnalistik, tidak membuat beliau lupa akan profesinya sebagai guru. Karena pada saat di Jayapura beliau sudah menjadi guru, maka saat beliau pindah ke Jakarta beliau melanjutkan profesinya menjadi seorang guru. Saat hendak pindah ke Jakarta belaiu berpikir mau jadi apa kalau hidup di Jakarta dengan pendidikan standar yang beliau miliki. Ketika masih duduk di bangku kuliah pria ini harus bekerja keras sambil belajar karena kondisi ekonomi beliau yang kurang baik. Tetapi dengan kerja keras akhirnya pria ini mampu untuk hidup di Jakarta yang keras ini.  Perubahan irama hidup dan idealisme tidak membuat guru berkulit gelap ini berhenti untuk berkarya. Hal ini seolah-olah mengamini motonya sendiri bahwa hargailah perubahan walaupun kecil. (Angelina Tedjapranata, XI IPA).

0 komentar:

Posting Komentar