Martinus Ruma, guru bahasa Indonesia SMA & SMK Kanaan Jakarta |
ketika berbicara yang masih menunjukkan aksen kedaerahannya menjadi salah satu
ciri khas dari pria ini. Pria kelahiran 7 September 1984 ini berasal dari Nusa
Tenggara Timur (NTT) namun lahir dan besar di Jayapura Papua. Guru yang akrab
disapa Martin ini menjadi guru Bahasa Indonesia di SMA Kristen Kanaan Jakarta
Pusat. Beliau saat ini sudah berkeluarga. Perjalanan hidupnya saat sebelum
menjadi guru yang penuh liku-liku membuat pria ini tidak pantang menyerah dan
memiliki tekad yang kuat dalam dirinya. Terkadang di depan kelas sangatlah
galak namun tidak jarang humor-humor khas ala papua coba beliau hadirkan untuk
menyegarkan semangat anak didiknya. Prinsipnya sangatlah simpel “3 O” (olah
hati, olah otak dan olah raga). Demikainlah cara guru ini menerapkan disiplin
di dalam kelas. Harapan terbesarnya adalah menghasilkan peserta didik yang
hatinya baik dan otaknya cerdeas; juga raga yang sehat.
Pria ini dulunya pernah bergabung dalam klub sepak bola Persipura junior.
Tetapi beliau meninggalkan itu semua karena beliau beranggapan bahwa hidup ini
bukan cuma untuk bersenang-senang melainkan harus memikirkan orang-orang
terdekat yang kita kasihi dan melakukan kebaikan untuk tabungan di Surga.
“Bermain sepak bola memang kesukaan saya dan cita-cita saya sejak kecil ingin
menjadi pemain bola profesional, tapi buat apa kalau kita sukses menjadi orang
kaya melalui sepak bola namun tidak memiliki tabungan untuk di akhirat kelak”
katanya.
Menjadi seorang jurnalis dan guru ialah pilihan hidupnya. Kemampuannya dalam
menulis tidak perlu diragukan karena sudah ada beberapa dari tulisannya pernah
menjadi juara. Diantaranya juara 1 penulisan berita investigasi tentang PSK di
Tanjung Elmo Jayapura Papua yang diadakan oleh AJI (Aliansi Jurnalis
Independen) propinsi Papua dan juara 3 penulisan soff news yang berjudul
“CITA_CITAKU MENJADI SEORANG PELACUR” oleh Persatuan wartawan kota Jayapura
(PWI). Beliau mengakui bahwa menjadi penulis itu mengasyikan dan kita tidak
mudah melupakan kejadian yang pernah terjadi di sekitar kita dengan menuliskan
kejadian itu. Pria yang satu ini sudah pernah bertatapan dan berfoto langsung
dengan almahrum mantan presiden terdahulu kita Gusdur.
Indahnya
menjadi seorang jurnalis, tidak pernah kekal adanya, ada suka ada juga duka.
Salah satu kehidupan pahit saat menjadi seorang jurnalis ketika beliau hampir
bertaruhan nyawa karena membuka kejahatan seseorang. Namun, semua itu baginya
menjadi cerita tempo dulu yang hanya bisa dijadikan pelajaran untuk menjadi
lebih baik lagi ke depannya.
Ketika
beliau masih muda dan belum menikah beliau beranggapan bahwa itu adalah
tantangan untuk terus maju. Namun saat sudah menikah beliau mengubah
pandangan hidupnya bahwa hidup ini harus memikirkan orang- orang yang
kita kasihi juga.Salah satu motivasi yang membuat pria ini ingin menjadi
jurnalis selain suka menulis beliau juga ingin menuliskan aspirasi dan harapan
masyarakat Papua yang kurang begitu diperhatikan oleh pemerintah pusat, padahal
di sana banyak yang lebih membutuhkan bantuan lebih dari pada di daerah lain.
Memang benar kata pepatah, sejauh-jauhnya tupai terbang tentu akan kembali ke
sarangnya. Sekian lama malang buana di dunia jurnalistik, tidak membuat beliau
lupa akan profesinya sebagai guru. Karena pada saat di Jayapura beliau sudah
menjadi guru, maka saat beliau pindah ke Jakarta beliau melanjutkan profesinya
menjadi seorang guru. Saat hendak pindah ke Jakarta belaiu berpikir mau jadi
apa kalau hidup di Jakarta dengan pendidikan standar yang beliau miliki. Ketika
masih duduk di bangku kuliah pria ini harus bekerja keras sambil belajar karena
kondisi ekonomi beliau yang kurang baik. Tetapi dengan kerja keras akhirnya
pria ini mampu untuk hidup di Jakarta yang keras ini. Perubahan irama
hidup dan idealisme tidak membuat guru berkulit gelap ini berhenti untuk
berkarya. Hal ini seolah-olah mengamini motonya sendiri bahwa hargailah
perubahan walaupun kecil. (Angelina Tedjapranata, XI IPA).
0 komentar:
Posting Komentar