Oleh Martinus Ruma, S. Pd
(guru Bahasa Indonesia SMA& SMK Kristen Kanaan Jakarta)
A. Potret Manusia Indonesia zaman ini
“Ye ile pak ribet amat si pakai heningkan cipta segala, orang meninggalnya
saja uda lama. Lantas apa persoalannya kalau meninggalnya sudah lama, tanya
sang guru. Ih.. si bapak, ya pasti sudah masuk surgalah orang didoakan oleh
seluruh rakyat Indonesia setiap upacara bendera” tetapi pernahkah kamu berpikir
jika tanpa pahlawan yang gugur kebebasan pun tidak pernah ada?, ujar sang
guru”.
|
foto ilustasi dari internet tentang realitas ke'Indonesiaan kita |
Kutipan di atas merupakan penggalan
pembicaraan antara guru dan murid usai upacara bendera; dari dialog tersebut
terdapat dua hal penting. Pertama kelogisan berpikir dan kedua romantisme masa
lalu. Sisi yang satu mengharapkan kepatuhan, cinta tanah air dan sederet sikap
patriotik lainnya sedangkan sisi yang lainnya mengharapakan jawaban yang logis
dan contoh kongkrit. Dua hal tersebut seperti dua sisi mata uang, tidak pernah
saling bertemu namun sejatinya mereka adalah satu kepingan uang. Demikianlah
gambaran remaja masa kini dan harapan dari orang tua di rumah dan guru di
sekolah.
Harapan dan
kenyataan selalu tidak sejalan di abad ke 21 ini; misalnya di depan kelas guru
sejarah mengatakan bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para
pahlawanya. Kongkritnya sang guru berharap para murid bisa mengikuti upacara
bendera dengan baik terutama saat mengheningkan cipta. Namun, faktanya upacara
bendera dilalui hanya sebagai rutinitas biasa. Semangat persatuan dan kesatuan
dari para pahlawan terdahulu diharapkan menjadi semangat pelajar masa kini.
kenyataanya tawuran antara pelajar sering terjadi. Lansiran dari tempo online,
Kamis (4/9/14) Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) mencatat ada 229
kasus tawuran pelajar sepanjang Januari-Oktober tahun 2013. Jumlah
ini meningkat sekitar 44 persen dibanding tahun lalu yang hanya 128 kasus.
Dalam 229 kasus kekerasan antarpelajar SMP dan SMA itu, 19 siswa meninggal
dunia. Demikian juga dengan guru bahasa Indonesia, ikrar para pemuda untuk berbahasa
satu bahasa Indonesia. Semangat yang sama pun diharapakan oleh sang guru agar
siswanya bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Namun lagi-lagi fakta
menunjukan lain. Dalam kehidupan sehari-hari, anak muda lebih senang dan merasa
gaul jika mereka meng-update status di jejaring sosial dengan bahasa Inggris.
Menyatakan cinta dengan kata “i love u” mengatakan rindu dengan “i
miss u” merasa tidak gaul dan malu jika mengatakannya dengan bahasa
Indonesia, alasannya pasti tidak keren dan tidak romantis. Apakah begitu
buruknya bahasa Indonesia sampai penuturnya sendiri enggan mengakui
keberadaanya?. Jika ini terus terjadi, bukan tidak mungkin bahasa Indonesia
hanyalah tinggal sejarah seperti bahasa sansekerta yang telah lama dilupakan
orang. Sedangkan sumpa pemuda hanyalah sumpah tentang sejarah bangsa Indonesia
di masa lalu apalagi mengingat isi pancasila sebagai idiologi bangsa.
Sedikit fakta coba penulis
jabarkan tentang pancasila sebagai idiologi bangsa. Hasil survei tentang pancasila sebagai idiologi
bangsa yang dilakukan oleh
aktivis Gerakan
Nasionalis Indonesia (GNI)
di Universitas Indonesia, Institut
Teknologi Bandung, Universitas Gadjah
Mada, Universitas Airlangga, dan Universitas Brawijaya pada tahun 2010.
Sebanyak 80 persen mahasiswa memilih syariah sebagai pandangan hidup berbangsa
dan bernegara. Sebanyak 15,5 persen responden memilih aliran sosialisme dengan
berbagai varian sebagai acuan hidup. “Hanya 4,5 persen responden yang masih
memandang Pancasila tetap layak sebagai pandangan hidup berbangsa dan
bernegara”. Fenomena ini jika dibiarkan terus terjadi maka generasi sesudah kita
kemungkinan besar tidak tahu sejarah dan budaya bangsanya sendiri.
Tentu persoalan sejarah bangsa dan budaya tidak bisa dijadikan ukuran
nasionalisme seseorang karena nasionalisme lebih dari sekedar budaya dan
persoalan sejarah; apalagi kegiatan ceremonial macam upacara bendera, tetapi
sejarah bangsa adalah dokumentasi bangsa dan budaya menjadi identitas dari dari
sebuah bangsa (meminjam istilah Remi Salado dalam antalogi puisi
pelacur-pelacur Jakarta).
B.
Idealitas yang Diharapkan untuk
Membingkai Ulang Indonesia
Sederet fakta
tentang nasonalisme kaum muda, nampak miris. Antara harapan dan keyataan selalu
tidak sejalan adalah tanggung jawab bersama untuk meyatukan romantisme masa
lalu dan idealisme generasi abad 21 dalam satu bingkai yang bernama Indonesia
raya. Impian orang tua adalah melihat kesuksesan seorang anak sehingga dapat
berguna bagi keluarga dan negara. Telah menjadi harapan seorang guru melihat
murid yang cerdas dan berahklak mulia, memiliki rasa tanggung jawab dan berjiwa
pancasila. Ibarat sebuah bingkai yang di pasang foto yang bagus; tentu
memancarkan panorama indah yang menyejukan mata. Demikian juga dengan
ekspektasi kita untuk melihat Indonesia menjadi macan Asia dan disegani oleh
bangsa lain. Ekspektasi kita berada di tangan generasi muda dan hanya pada
pundak generasi muda harapan itu menjadi bertaji. Tugas kita bersama untuk
membingkai ulang Indonesia agar enak dipandang. Hal ini bukan dimulai dari
generasi mudanya saja tetapi yang pertama dan terutama adalah dari diri
sendiri.
Satu hal yang
menyatukan orang tua dan guru adalah harapan. Hal yang sama pun
diimpikan dari seorang murid kepada guru dan orang tua. Murid mengharapkan
contoh kongkrit bukan kata-kata seperti nasionalisme, tanggung jawab, jiwa
pancasila dan disiplin. Kata hanyalah sebuah kata tanpa makna. Deretan kata
tersebut akan bermakna jika dinyatakan dalam perbuatan sehari-hari. Sudahkah
para guru di sekolah dan orang tua di rumah memberi contoh kongkrit dari apa
yang diajarkan kepada anak di rumah para murid di sekolah?. Sebuah pertanyaan retoris tingkat
tinggi; yang membutuhkan jawaban dari para guru di sekolah dan orang tua di
rumah.
C.
Cara Membingkai Ulang Indonesia
Di zaman
digital seperti ini kebenaran sejati bagi seorang anak (walau tidak semua)
adanya pada google namun menjadi penyimbang yang sebanding jika guru dan orang
tua bisa memberi contoh kongkrit. Lantas caranya bagaimana?. Jawaban sangat
sederhana mulailah dari diri sendiri dengan menerapkan 3T (tahu diri,
tahu waktu dan tahu tempat).
Tahu diri, sebagai
guru; tindakan saya, kata–kata saya, cara berbusana saya sudahkah
mencerminkan seorang pendidik yang dapat memberikan contoh yang baik bagi murid
di sekolah dan di manapun saya berada?. Sebagai pelajar, kata-kata dan
tindakan saya, sudahkan mencerminkan seorang pelajar, ataukah tindakan saya
tidak jauh bedanya dengan preman di terminal?. Tahu tempat, sebagai
guru sudahkah saya menempatkan diri saya sebagai seorang tuan guru yang
segala tindakan saya baik di sekolah, di lingkungan masyarakat atau pun di
media sosial yang akan ditiru oleh siswa. Sebagai siswa, sudahkah saya
berbusana sesuai dengan tempatnya?. Atau jangan-jangan di sekolah saya
menggunakan sendal jepit padahal tempatnya di sekolah dan sekolah mempunyai
aturan. Tahu waktu, sebagai guru; di depan kelas kita selalu
mengatakan korupsi itu jelek. Memang benar kenyataannya korupsi itu jelek dan
sangat merugikan. Namun, terkadang seorang guru pun di depan kelas melakukan
korupsi. Bel istirahat sudah berbunyi guru masih saja mengajar. Murid
“berkicau” sang guru menjawab “tanggung ne, tinggal sedikit lagi”. Hal yang
sama pun terjadi pada saat pergantian jam pelajaran. Saling menunggu antara
guru yang sedang mengajar dan guru yang akan menggantikan. Ini adalah perbuatan
yang merugikan bagi siswa dan sejawat. Inilah model kecil dari penyakit bangsa
yang bernama korupsi. Teriangat kata seorang kawan dalam suatu renungan pagi.
“Jika hal-hal kecil seperti korupsi waktu yang dilakukan seorang guru atau
ketidak disiplinan siswa dibiarkan saja maka akan menciptakan persoalan besar
di masa mendatang”. Jika guru saja tidak tahu waktu istirahat mana dan waktu
belajar mana, maka jangan pernah menuntut siswa untuk diam saat jam pelajaran
karena tindakan siswa adalah cerminan dari guru dan orang tua di rumah.
Rumah semuanya bermula
dan semuanya berujung sekiranya itulah falsafah klasik tentang rumah; dari
rumah orang tua dan anak mulai mengawali hari baru, menjalani, kemudian
mengahirinya dalam kebersamaan dalam sebuah bingkai keluarga. Seorang anak yang
dibesarkan dalam keluarga yang baik, niscaya dalam hatinya akan tumbuh perasaan
“nasionalisme” terhadap keluarga tersebut. Ia akan memikirkan kepentingan
keluarga di atas kepentingan pribadinya. Perasaan “nasionalisme” terhadap
keluarga tersebut akan
berkembang menjadi perasaan “nasionalisme” terhadap RT, RW, Kelurahan,
Kecamatan, dan
seterurusnya sampai “nasionalisme” terhadap bangsa dan negara.
Sebaliknya, dalam keluarga yang kacau, ikatan kekeluargaan akan sangat longgar.
Setiap anggota keluarga hanya mementingkan pribadi masing-masing. Dari keluarga
seperti ini, mustahil akan tumbuh perasaan nasionalisme terhadap negara. Karena
itu tidak salah kalau ada yang mengatakan bahwa nasionalisme seseorang tumbuh
dari keluarga masing-masing. Keluarga yang
baik akan menelorkan seorang yang barakhlak baik, yang tidak akan mau
merugikan orang lain. Dalam skala yang lebih besar, dia juga tidak akan mau
merugikan lingkungan sekitarnya.
D.
Glosarium dari Sebuah Kata yang
Bernama Nasionalisme
Orang yang
tumbuh dari keluarga yang kacau, mustahil bisa tumbuh jadi orang yang
mengutamakan kepentingan bangsa dan negaranya. Oleh karena itu, sebelum
berbicara tentang nasionalisme, lebih baik benahi dahulu keluarga masing-masing agar anak-anaknya tumbuh menjadi
orang yang baik. Cukup dengan tindakan sederhana sehari-hari.
Di rumah,
hematlah pemakaian air, listrik, dan telepon yang tidak perlu. Jika setiap
rumah tangga bisa menghemat biaya tersebut Rp. 10.000 sebulan, dan jika ada 10
juta rumah tangga yang melakukannya, maka secara nasional dapat dihemat Rp.1,2
triliun setahun. Uang yang dihemat tersebut akan memperkuat sisi penawaran dan
akan mendorong tumbuhnya investasi domestik melalui pasar uang dan modal.
Tumbuhnya investasi akan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang akan
meningkatkan kemakmuran masyarakat. Jika penghematan biaya tersebut diperluas,
misalnya untuk BBM, sandang, pangan dan perumahan, khususnya untuk barang-barang yang kandungan
importnya tinggi, jelas efeknya akan sangat besar untuk memacu pertumbuhan
ekonomi misalnya. Mari dimulai nasionalisme dari
sekarang dan dimulai dari rumah sendiri.