Beberapa
abad yang lalu, datanglah sepasang suami istri dari Belanda ke sebuah negeri di
kawasan Asia. Sang suami dikenal dengan nama Pieter Bolot, karena pendengaran
dan daya berpikirnya yang ‘kurang memadai’, sementara sang istri dipanggil
dengan sebutan Nyonya Belanda. Sebenarnya sang istri tidak mencintai suaminya
karena kekurangan suaminya, namun karena alasan kekayaan, sang istri mau
menikahinya. Selain itu, entah mengapa Pieter Bolot hanya dapat mendengar
perkataan istrinya saja dengan jelas.
Tujuan mereka datang ialah untuk
mencari rempah-rempah, dikarenakan jumlah rempah rempah di tempat asal mereka
terbatas dan harganya cukup mahal. Sang istri berkata: “wahai suamiku, kenapa
tidak kita beli saja rempah rempah di negara kita sendiri? Toh, kita punya banyak money
untuk membelinya, untuk apa kita kita datang ke tempat jauh yang dirty dan menjijikan seperti ini?”. Sang
suami menjawab: “Rempah rempah seperti di Belanda sangat MAHAL dan sedikit,
sementara disini sangat banyak dan murah meriah!”
Kemudian mereka menghampiri seorang
penjual rempah- rempah. Pieter Bolot bertanya “Bapak yang baik, berapa harga
semua rempah rempah ini?”. “Mohon maaf mister,
semua rempah rempah ini sudah dipesan” jawab sang penjual. “ceban? Sepuluh ribu?! Wah murah sekali
ternyata” kata Bolot. Tampaknya ia salah mendengar perkataan penjual tersebut.
Sang penjual kemudian mengulang perkataannya: “Bukan, semua rempah rempah ini
sudah dipesan”. Pieter Bolot kembali salah dengar, “Apa?! Mau diberi diskon?!
Terima kasih! Bapak baik sekali!”. Sang penjual akhirnya kesal dan berteriak: “MISTER BOLOT, SEMUA INI SUDAH DIPESAN!!!”.
“Waw! Bapak hebat bisa tahu nama saya!” jawab Pieter Bolot. Akhirnya nyonya
Belanda yang sudah bosan menunggu menjelaskan kepada Bolot bahwa semua rempah
rempah tersebut sudah dipesan.
Pieter Bolot sangat marah
mendengarnya; ia memanggil kedua pengawalnya untuk mengacak-acak tempat
tersebut. Selain itu, Bolot juga menangkap beberapa penjual dan pembeli disana
untuk dijadikan sandera. Ia menyatakan perang dengan penduduk sekitar karena
kesal tidak mendapatkan rempah rempah yang ia inginkan. Sebenarnya ia hanya
mengadakan perang kecil-kecilan karena jumlah pasukannya yang sedikit.
Ada seorang warga yang menyaksikan
peristiwa tersebut, kabur dan melaporkan perbuatan Bolot kepada Jendral Sularman,
seorang pimpinan militer yang kebetulan tinggal di daerah sana. Ternyata, salah
seorang sandera ialah putranya. Dengan peralatan seadanya dan jumlah pasukan
yang lebih sedikit, Jendral Sularman berangkat ke pelabuhan tempat kapal Pieter
Bolot dilabuhkan.
Tanpa basa-basi, kedua pihak
langsung bertarung dengan sengit. Pieter Bolot menang karena jumlah pasukan dan
persenjataan yang memadai, sementara banyak rakyat yang terluka dan terbunuh. Akhirnya hanya tersisa Jendral
Sularman saja yang bertahan. Dengan mengacungkan pistol berlapis emas dan
berlian miliknya, Pieter Bolot tertawa menghina sang jendral.
Jendral Sularman tidak kehilangan akal, ia tahu
bahwa kecerdasan Pieter Bolot rendah, sehingga ia memanfaatkan kesempatan itu.
“Hai tuan Belanda, anda sangat hebat sekali, anda juga pasti sangat kaya karena
memiliki senjata seperti itu”. Karena sombong Pieter Bolot mengangkat dagunya.
Jendral kembali menghasut “Bolehkah saya melihat senjata itu untuk sekali saja
sebelum tuan membunuh saya?”. Dengan pemikiran pendek, Pieter menjawab “Ah, itu
permintaan terakhirmu? Melihat senjata termahal sedunia? Hahaha…! Baiklah, akan
kukabulkan permohonan terakhirmu itu”.
Setelah menerima senjata emas berlian dari Pieter,
Jendral Sularman langsung menembak dada Pieter. “AUCH!!! HAH?! Dasar Kau!!!
PEMBOHONG!!!” teriak Pieter. “Salahmu sendiri memberikan senjatamu kepada
lawan, dasar Bolot!” balas Jendral. “Itu namaku!” teriak Pieter sekali lagi.
“Dengar tuan, anda boleh saja datang ke tempat ini, tapi anda tidak akan pernah
bisa memiliki tempat ini!”. Mendengar itu, Pieter Bolot rebah ke tanah dan
tewas.
Nyonya Belanda yang melihat suaminya mati berteriak
histeris, “SUAMIKUUU!!! KENAPA KAU DEAD
DI TEMPAT SEPERTI INI?!”. Sambil membebaskan para tawanan, Jendral berkata
kepada nyonya Belanda dan pengawalnya : “Anda harus tahu nama negeri ini,
tempat indah ini bernama INDONESIA, negeri ini milik kami dan akan selalu
menjadi milik kami! Maaf aku sudah membunuh suamimu”. “ tak mengapa, aku memang
tidak cinta padanya, aku hanya mengincar money
yang ia miliki, sekarang seluruh kekayaannya akan menjadi milikku”
Setelah itu, nyonya Belanda dan pengawalnya kembali
ke Belanda, sementara Jendral Sularman membantu untuk menolong pasukannya yang
terluka. Akhirnya, Indonesia dapat terbebas dari tangan orang asing melalui
perjuangan dan pengorbanan.
0 komentar:
Posting Komentar